Pesantren Tahfidz Sam’an disebut memiliki lima program besar.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Pemerintah Indonesia memiliki komitmen mewujudkan kesetaraan atau inklusivitas bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Sekolah-sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini pun hadir untuk memberi mereka ruang, termasuk kehadiran pesantren untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) atau disabilitas.
Pesantren Tahfidz Tunanetra Ma’had Sam’an Darushudur merupakan salah satu yang menyediakan pendidikan agama bagi disabilitas netra di Jawa Barat. Pesantren ini lahir dari ide dua pendirinya, Ridwan Effendi dan Dani Nurrohman, yang ingin melakukan aksi nyata membawa manfaat bagi umat.
Pimpinan Pesantren, Ridwan Effendi, menyebut semula ia kerap melakukan pelatihan metode sam’an, atau metode belajar memahami bahasa Arab dan Alquran, bagi tunanetra. Pada 2018, dengan dorongan dari Dani Nurrohman, berdua mereka mendirikan pesantren ini.
Ridwan pun kerap memenuhi undangan rutin tahunan untuk mentashih mushaf Alquran Braille. Ia menjadi salah satu pakar dan narasumber pada kegiatan Pentashihan Mushaf Alquran Braille, yang pelaksanaannya diinisiasi Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
“Santri di sini dari seluruh Indonesia, berbagai daerah. Jumlah saat ini ada 28 santri. Guru yang mengajar di pondok ini ada yang bisa melihat dan tidak, kebanyakan lulusan UIN,” ujarnya.
Jika dibandingkan dengan pondok biasa, jumlah santri ini memang terbilang kecil. Namun, bagi pondok disabilitas hal tersebut sudah lebih dari cukup, bahkan overload. Ini karena tingkat perhatian dan penanganan yang diberikan harus lebih ekstra dibandingkan dengan mengajar santri biasa.
Untuk kurikulum, Ridwan menyebut pondoknya menggunakan kurikulum mandiri dan pesantren, karena pihaknya sudah memegang izin dari Kemenag. Pengembangan model dan inklusi yang ada merupakan kreasi dari pendidik. Pihaknya disebut mengembangkan metode inklusi di layanan individual.
Pesantren Tahfidz Sam’an disebut memiliki lima program besar. Mereka adalah Pondok IT, Pondok Inklusi, Pondok Bahasa, Pondok Sehat dan Pondok Mandiri. Saat ini, tuna netra tidak lagi terbelakang dalam hal penggunaan teknologi. Karena itu, dihadirkan Pondok IT yang membantu mereka belajar komputer dan mengakses internet.
Untuk Pondok Sehat, para santri diajak untuk mengatur pola makan dan berolahraga agar lebih sehat. Di program Pondok Bahasa, Ridwan ingin agar santri bisa menguasai beragam bahasa asing, seperti Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
“Di Pondok Mandiri, santri diajak untuk mandiri, mulai dari makan, minum, belajar, ke masjid. Ke depannya, agar mereka semakin mandiri. Untuk Pondok Inklusi, ya kami berbaur dengan masyarakat, mengikuti kegiatan yang ada,” lanjut dia.
Selama mengelola pesantren ini, ia menyebut kendala yang dihadapi ada pada masalah biaya atau operasional, untuk gaji asatiz maupun makan santri. Selama ini, pihaknya hanya bergantung pada sumbangan dan donasi, mengingat santri yang tinggal tidak ditarik biaya sedikitpun.