Jika itu terjadi, maka upaya keras Indonesia dalam memoles citra positif sepak bola nasional pun akan menemui kemunduran.
Hal itu juga bisa memicu koreksi besar untuk apresiasi dunia terhadap Indonesia yang membuat FIFA pun memilih Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20.
Turnamen ini menjadi sentral kekhawatiran Indonesia, termasuk sejumlah pejabat Sumatera Selatan yang khawatir Tragedi Kanjuruhan membuat asa Palembang pupus menggelar Piala Dunia U20. Palembang adalah satu dari sembilan kota yang menjadi venue Piala Dunia U20 2023.
Tragedi Kanjuruhan sudah pasti merupakan tamparan keras untuk Indonesia yang belakangan tahun telah membangun diri sebagai tempat aman untuk perhelatan internasional, termasuk olahraga.
Apalagi beberapa waktu lalu Indonesia baru terbebas dari sanksi WADA, berkaitan dengan laporan kepatuhan kepada badan antidoping dunia itu.
Apakah Tragedi Kanjuruhan mendorong FIFA mencopot Indonesia dari tuan rumah Piala Dunia U20, masih sangat bisa didebatkan.
Tapi jika melihat langkah-langkah FIFA sebelumnya dalam kaitan pendudukan lapangan oleh suporter dan penggunaan gas air mata dalam mengendalikan penonton yang marah, sanksinya mungkin tak akan sampai membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 tahun depan.
FIFA sendiri lebih sering memberikan sanksi keras untuk pertandingan atau kompetisi sepak bola yang melibatkan antarnegara atau antarklub antarnegara.
Terakhir FIFA menjatuhkan sanksi kepada Nigeria dan Senegal pada Mei 2022 akibat penonton yang menyerbu masuk lapangan usai laga playoff kualifikasi Piala Dunia 2022, masing-masing melawan Ghana dan Mesir.
Nigeria didenda 15 ribu Franc Swiss dan sekali bertanding tanpa penonton, sedangkan Senegal dijatuhi denda 175 ribu franc. Namun dalam kedua peristiwa ini tak ada korban tewas dan tak ada penggunaan gas air mata.
Sebaliknya, dua aspek yang mungkin disorot FIFA dari Tragedi Kanjuruhan adalah masuknya penonton ke lapangan dan penggunaan gas air mata.
Bentuk TGIPF
Dampak yang paling mungkin sangat keras adalah terhadap lamaran Indonesia menjadi tuan rumah Piala Asia 2023.
Apalagi sampai beberapa hari ke depan dunia internasional terus menyorot tragedi di Malang itu, padahal kepastian tuan rumah Piala Asia 2023 baru diketahui tanggal 17 bulan ini.
Kecuali ada sinyal bakal ada perlakuan tepat berkaitan dengan Tragedi Kanjuruhan yang bisa membuat dunia terkesan, Indonesia bisa terpaksa memupus impian menjadi tuan rumah Piala Asia 2023.
Indonesia, bersama Qatar dan Korea Selatan, tengah mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Asia 2023 setelah China menyatakan mundur akibat pandemi COVID-19.
“Apa yang dilakukan Indonesia saat ini akan menentukan apakah reputasi baik Indonesia bisa dipulihkan atau tidak, dan apakah Indonesia mau belajar dari peristiwa maut itu (Tragedi Kanjuruhan) dan kemudian membuat standard pengamanan kompetisi olahraga yang membuat dunia terkesan,” kata pakar manajemen kerumunan di Los Angeles, Amerika Serikat, Paul Wertheimer, kepada AFP.
Wertheimer yang mengetuai lembaga konsultansi Crowd Management Strategies heran gas air mata digunakan dalam Tragedi Kanjuruhan ketika FIFA justru melarang gas air mata digunakan untuk mengendalikan keonaran di dalam stadion.
Berangkat dari situ, Wertheimer menilai Indonesia harus menata ulang segala hal berkaitan dengan manajemen pertandingan dan penonton, termasuk melatih personel keamanan dalam menangani penonton pertandingan olahraga yang biasa disebut dengan “crowd-management“.
Indonesia juga mesti membuat sistem edukasi sepak bola yang fokus kepada suporter dan masyarakat serta peran dan tanggung jawab mereka sehingga mereka mengetahui risiko keamanan.
Intinya, Indonesia bisa menyelamatkan reputasinya di dalam dan luar negeri dengan merespons cepat dan tepat tragedi ini.
“Apakah Indonesia bakal merespons dengan menggelar penyelidikan menyeluruh yang mengarah kepada perubahan substantif yang melindungi publik ke depannya? Jika ini yang ditempuh, maka Indonesia bakal bisa memulihkan reputasi positifnya di dunia,” kata Wertheimer.
Pertanyaan Wertheimer sudah setengah terjawab oleh langkah pemerintah Indonesia yang pada 3 Oktober 2022 membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), walaupun PSSI yang menjadi otoritas sepak bola Indonesia sudah lebih dulu mengambil langkah, dengan salah satunya melarang Arema FC memainkan laga kandang di Stadion Kanjuruhan sampai Liga Indonesia musim 2022-2023 selesai.
Bagi negara yang tak terbiasa memaksa mundur pihak berwenang dengan malah komentator sepak bola Radot Valentino “Jebret” Simanjutak yang mundur karena merasa turut menanggung beban moral jika terus berpartisipasi dalam Liga 1 musim ini ketika sebuah tragedi begitu besar terjadi, langkah cepat TGIPF amatlah dinantikan.
Cepat terungkap
Mungkin perlu beberapa generasi lagi bagi Indonesia untuk terbiasa mengambil langkah seperti yang dilakukan Valentino, tapi ada langkah lain yang patut diapresiasi tinggi-tinggi, yakni keputusan Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang dan sejumlah perwira polisi lainnya berkaitan dengan tragedi itu.
Langkah Kapolri ini bisa membantu mengirimkan sinyal bahwa Indonesia bergerak cepat memulihkan reputasinya di luar negeri, seperti disebut Paul Wertheimer di atas.
Kini Kapolri akan kembali bergandengan dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD guna mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan, walau dalam jalur berbeda.
Mahfud yang menjadi buldoser yang mendorong terungkapnya kasus besar pembunuhan yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo yang sampai kini tetap menghebohkan itu, menjadi ketua TGIPF Tragedi Kanjuruhan.
TGIPF diharapkan mengambil langkah cepat mengungkap kasus ini yang bisa memulihkan kepercayaan publik dalam negeri dan dunia, sehingga FIFA tak menjatuhkan sanksi yang terlalu mahal bagi Indonesia.
Tentu saja tak cuma karena alasan ini, karena tak kalah penting adalah mencari akar masalah untuk kemudian memberikan perlakuan tepat untuk masalah itu, termasuk memintai pertanggungjawaban dari pihak yang, baik langsung maupun tidak langsung, dinilai punya andil dalam tragedi yang menewaskan 125 orang itu.
Ini bukan soal saling menyalahkan, sebaliknya ini upaya memulihkan reputasi yang sudah baik dan upaya korektif terhadap kesalahan atau kelalaian yang sudah terjadi.
Kalimat “saling menyalahkan” sering menjadi pemakluman atau bahkan pembiaran untuk laku salah atau keliru yang seharusnya menuntut adanya respons, tanggung jawab, dan sanksi.
Dalam semua aspek kehidupan yang memiliki konsekuensi legal dan moral, adalah normal menuntut siapa yang mesti dimintai pertanggungjawaban, apalagi untuk sebuah peristiwa buruk yang merenggut begitu banyak nyawa yang merusak reputasi nasional.
Tindakan tegas juga harus diambil karena bukan saja menyangkut sepak bola nasional atau masalah domestik Indonesia, karena juga sudah berkaitan dengan bagaimana dunia melihat Indonesia.
Dalam kaitan ini pula, suara publik, entah negatif atau positif, tetaplah didengar. Yang penting adalah memilah mana yang harus dijadikan referensi untuk mengambil tindakan, dan mana yang tidak.
Langkah Polri dan pemerintah yang segera membentuk TGIPF adalah wujud dari kemampuan pemangku kepentingan dalam menyerap suara publik, selain sebagai petunjuk untuk adanya itikad besar mengungkap cepat dan tuntas tragedi ini.
Kini, masyarakat Indonesia, termasuk keluarga korban Tragedi Kanjuruhan dan dunia, termasuk FIFA, menunggu langkah Indonesia dalam mengungkap tuntas tragedi ini dan memberikan perlakuan tepat untuk kasus ini sehingga masyarakat Indonesia dan dunia, termasuk FIFA, puas dan terkesan.
COPYRIGHT © ANTARA 2022