Wapres menanggapi kasus penolakan pendirian rumah ibadah.
REPUBLIKA.CO.ID,PONTIANAK–Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta aturan pendirian rumah ibadah melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 wajib ditaati. Wapres mengatakan, sepanjang aturan tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah itu dijalani, tidak akan menimbulkan persoalan.
Ini disampaikan Wapres berkaitan polemik pendirian rumah ibadah di beberapa tempat, salah satu yang terbaru di Cilegon.
“Masalah pembuatan rumah ibadah itu sudah ada aturannya, itu kasus-kasus di daerah harus dikembalikan ke aturan yang sudah ada itu apakah betul sudah dipenuhi syaratnya,” ujar Kiai Ma’ruf kepada wartawan di sela kunjungan kerja ke Kalimantan Barat, Kamis (22/9/2022).
Kiai Ma’ruf mengatakan, dalam PBM 9 dan 8 yang merupakan kesepakatan majelis-majelis agama tersebut sudah ada pedoman tentang persyaratan pendirian rumah ibadah. Karenanya, perlu dilihat kembali apakah masalah pendirian ibadah di suatu wilayah sudah memenuhi aturan PBM 9 dan 8 tersebut atau tidak.
“Kalau syarat sudah dipenuhi tidak ada alasan untuk menolak tapi kalau syarat belum dipahami maka tidak boleh suatu agama memaksakan kehendaknya karena syaratnya belum dipenuhi, saya kira itu saja,” kata Kiai Ma’ruf.
Untuk itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia ini mengingatkan semua pihak untuk kembali mempedomani aturan tersebut. Menurutnya, sepanjang aturan tersebut dipatuhi tidak akan menimbulkan permasalahan.
“Kalau ada terjadi (masalah), ada dua kemungkinan, satu sudah dipenuhi syarat tapi tidak bisa, itu tidak boleh, atau yang kedua, belum dipenuhi syarat tapi maksa ingin boleh, itu juga tidak boleh, jadi kembali saja ke aturan mainnya,” ujarnya.
Sementara, untuk beberapa kasus di daerah, Ketua Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah itu meminta agar memverifikasi apakah sudah sesuai dengan aturan atau tidak.
“Kalau sudah terpenuhi harus (diikuti) tetapi kalau belum terpenuhi (ya jangan), jangan sampai ini mengaku sudah dipenuhi ini mengaku belum, nanti diverifikasi saja, diteliti saja benar tidak, sehingga tidak ada lagi yang menyebabkan konflik,” ujarnya.
Sebelumnya, untuk kasus di Cilegon, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama (Kemenag), Wawan Djunaedi mengatakan berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, komposisi umat Kristen di Cilegon telah mencapai 16.528.513, umat Katolik mencapai 6.907.873. Jumlah tersebut setara dengan 9,86 persen. Sementara komposisi umat non Muslim secara keseluruhan mencapai 12,82 persen.
Dia menegaskan, bertumpu pada data jumlah penganut agama Kristen tersebut. Tentu ikhtiar untuk pendirian rumah ibadah sudah memenuhi kebutuhan nyata.
Dia menambahkan, konsideran menimbang SK bupati tahun 1975 juga merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 yang keberadaannya sudah dicabut dan digantikan dengan PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
Dalam hukum, ada asas lex posterior derogat legi priori, yakni hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama.
“Yang berlaku saat ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006,” jelas Wawan.