Cerita ini bermula ketika maghrib tiba. Sang fajar nampaknya sudah pamit undur diri berpamitan takluk oleh si raja malam, sang bulan. Seperti biasa, kegiatan salat dilakukan secara berjamaah di Masjid Umar. Usai salat dan berdoa, kami segera beranjak pergi ke kelas untuk menyiapkan hafalan Al-Qur’an atau biasa disebut isti’dad. Selain menghafal, terkadang beberapa dari kami malah melakukan aktivitas lain, seperti mengobrol, mandi, jajan, ataupun hanya berputar-putar saja dari kelas satu ke kelas lainnya.
Waktu itu, kelas cukup ramai namun diriku sedang tidak berminat untuk ngobrol dengan siapapun. Sembari menghafal, mataku meraba-raba seisi ruangan kelas, mencari sesuatu yang menarik. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah benda panjang berwarna putih, bertutup hitam, dan bertuliskan Snowman. Ya, spidol. Tanpa menunggu lama, diriku lekas beranjak mengambil benda tersebut yang kelak akan menjadi biang masalah buatku. Guratan demi guratan tinta hitam kini sedang kutuangkan di atas papan putih bersih. Entah apa yang sedang kupikirkan, namun aku malah menggambar beberapa muka abang kelas 12 (waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 10) yang cukup ‘berbahaya’ kala itu. Diantaranya ada bang H****, bang P*******, dan mahakarya utama yaitu *bang. Sontak seisi kelas yang melihat apa-apa yang kugambarkan di papan tulis tertawa tak karuan karena melihat gambaranku nampak mirip dengan objek aslinya. Aku yang tak percaya bisa melakukan hal tersebut abai dengan bahaya yang sedang mengintai di belakangku. Ya, salah seorang abang kelas 12 (bang S*****) nampaknya melihat apa yang telah kulakukan. Bodohnya, aku pada saat itu sedang berada di kelas milik kelas 12 dan kebetulan kelasnya berada di lantai bawah. Otomatis, orang yang berlalu lalang di jalan belakang sekolah bisa melihat dengan jelas perbuatan yang telah kulakukan.
Adzan Isya berkumandang, salat Isya pun dilaksanakan. Saat sedang berdoa, tiba-tiba salah seorang temanku, F****, datang menghampiriku dengan muka entah pasrah atau terancam sembari berkata, “Pik, lo dipanggil sama bang S***** di koridor belakang.” JDERRR! Bak petir di siang bolong, hatiku tersambar. Degup jantungku mempercepat seolah-olah sedang berpacu bersama Usain Bolt di pacuan lari 100 m. Setelah mengucapkan doa, aku segera pergi menemui takdir. Disana, telah menunggu abang kelas 12 yang melihatku tadi. Dengan muka garang namun tersenyum, dia berkata, “Tunggu di sini.”. Dia pun nampak memberikan kode kepada kawannya yang lain. Dari arah kejauhan, tiba-tiba tiga orang yang kugambar tadi datang menuju tempatku. Diriku kepayahan seolah-olah Chadwick Boseman yang berkata, “i’m dead man, i’m dead.”. Kemudian tiga orang tersebut duduk persis di depanku. Salah satu dari mereka menatapku tajam sembari meminta penjelesan atas dosa yang kulakukan. Akhirnya, aku ceritakan seluruhnya sembari memantapkan kata-kata agar tidak ada satu pun pihak yang tersinggung. Diriku ibarat terdakwa yang sedang jadi bulan-bulanan penuntut di pengadilan negeri. Pada akhirnya, salah seorang abang kelas yang bijaksana angkat suara. Dia menasihatiku suatu hal penting, bahwa berhati-hatilah dalam bertindak agar tidak terjerumus dalam masalah yang hanya akan menyulitkan diri, apalagi apabila menyinggung ranah antar angkatan. Setelah itu, diriku dibebaskan dengan syarat, menggambar ulang ketiga abang kelas tersebut dengan lebih bagus dan deadline esok hari. Aku meminta maaf diiringi rasa malu dan berjanji tak akan mengulanginya lagi.