Rencana pembangunan gereja di Cilegon memicu polemik di kalangan warga
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mendirikan rumah ibadah adalah hak orang beragama. Karenanya, jika memenuhi syarat sebagaimana diatur regulasi maka harus difasilitasi.
“Persoalan pendirian rumah ibadah adalah hak orang beragama yang harus terpenuhi. Jika syarat terpenuhi, jangan ditolak,” kata Ketua Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, M Ishom El Saha, dalam siaran pers yang diterima Ahad (11/9/2022).
Ishom mengatakan, jika pembangunan rumah ibadah tidak memiliki masalah dalam persetujuan maupun persoalan administrasi, maka tidak ada alasan untuk menolak ataupun mempolitisasi yang dapat merugikan kelompok tertentu.
Dia menjelaskan, wujud toleransi adalah menghormati perbedaan, serta memberi ruang kepada orang lain untuk berkeyakinan dan mengekspresikan keyakinannya. Bentuk pengekspresian keyakinan tentu ini harus ditopang dengan sarana tempat peribadatan.
RMB) UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten menyampaikan, berdasarkan data yang diperoleh dari HKBP Resort Kota Serang, bahwa jemaat gereja tersebut sudah mencapai 3.903 per 30 Desember 2021.
Mereka terdiri atas jemaat dari kabupaten dan kota di sekitar wilayah Kota Serang. Antara lain, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Rangkasbitung dan Kabupaten Serang. Mereka menempati satu rumah ibadah yang terpusat di Kota Serang.
HKBP Maranatha Cilegon, sejatinya telah berdiri sejak 25 tahun lalu. Namun, sampai saat ini masih di bawah pelayanan HKBP Resort Serang. Keinginan mendirikan rumah ibadah di Cilegon, karena jemaat di Gereja HKBP Kota Serang sudah tidak tertampung semua.
Sehubungan dengan itu, Ishom mengajak para pihak yang terkait dan berwenang, termasuk aktivis keagamaan, untuk duduk bersama, menyelesaikan persoalan tersebut dengan baik, tanpa mencederai salah satu pihak.
Rumah Moderasi Beragama UIN Banten, kata Ishom, berkomitmen penuh untuk ikut ambil bagian dan menyuarakan nilai-nilai moderasi beragama dalam bentuk komitmen kebangsaan dan toleransi, baik intra maupun inter agama.
“Komitmen kebangsaan merupakan penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara, bahwa semua warga negara berhak memiliki perlindungan dan persamaan hak beragama tidak memandang mayoritas maupun minoritas,” tegasnya.
Hal ini, kata Ishom, sejalan dengan pesan dan ajakan Menag Yaqut Cholil Qoumas, untuk menjalankan toleransi dan saling mengasihi antarsesama. Sebagai Menteri Agama, kata Ishom, Gus Men memiliki kewajiban untuk melindungi semua pemeluk agama di Indonesia, bukan melindungi agama tertentu saja, karena itu sesuai amanat UUD 1945.
“Gus Men mengingatkan kita bahwa pemeluk agama sekarang sudah jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk mengurusi agamanya, tidak menyibukkan diri dengan Tuhannya. Padahal esensi beragama adalah mendekatkan diri dengan Tuhan. Jika seseorang sudah dekat dengan Tuhan, maka tidak akan ada lagi bermusuh-musuhan, yang ada berbuat baik kepada sesama, saling mengasihi dan menghormati kepada orang lain,” jelas Ishoma.
Pesan Gus Men ini, kata Ishom, sangat penting dipahami bersama sebagai bentuk komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghormatan kepada tradisi bangsa Indonesia yang mencintai kehidupan harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prinsip-prinsip tersebut menjadi dasar dalam penguatan dan pengembangan moderasi beragama yang semestinya menjadi spirit masyarakat.