Imam tersebut diusir atas tuduhan anti-Semit.
REPUBLIKA.CO.ID,PARIS — Pengadilan Prancis mengeluarkan putusan yang merugikan seorang imam Muslim di Prancis. Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin menyampaikan, pengadilan tinggi Prancis telah memberi lampu hijau terhadap pengusiran imam terkemuka Hassan Iquioussen.
“Dewan Negara mengesahkan pengusiran Tuan Iquioussen yang memegang dan menyebarkan pernyataan anti-Semit tertentu dan bertentangan dengan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki,” kata Darmanin dalam sebuah tweet, dilansir Anadoly Agency, Kamis (1/9/2022).
Putusan tersebut berbeda dengan putusan pengadilan sebelumnya. Artinya, putusan pengadilan kali ini membatalkan putusan sebelumnya yang menyatakan bahwa pengusiran terhadap imam Hassan Iquioussen merupakan serangan yang tidak proporsional terhadap “kehidupan pribadi dan keluarganya.
Iquioussen saat ini kemungkinan akan dideportasi ke Maroko. Sementara itu, pengacara Iquioussen, Lucie Simon, menuturkan, ada indikasi yang menunjukkan Mendagri Prancis Gerald Darmanin memerintahkan deportasi dan menekan pengadilan untuk memberikan putusan.
Pada akhir Juli lalu, Kementerian Dalam Negeri Prancis membatalkan izin tempat tinggi kepada Iquioussen karena dituding telah membuat pernyataan anti-Semit, dan anti-perempuan selama khutbah atau konferensi. Atas hal ini, Iquioussen menyatkan tuduhan tersebut tidak berdasar.
Prancis dalam beberapa waktu belakangan telah menjadi negara yang menunjukkan wajah islamofobia. Komite Hak Asasi Manusia PBB bahkan sempat memutuskan bahwa Prancis melanggar perjanjian hak internasional dengan melarang seorang wanita Muslim mengenakan jilbab bersekolah di negara itu. Larangan tersebut melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Komite HAM PBB menegaskan, larangan menggunakan jilbab dalam lembaga pendidikan justru membatasi kebebasan beragama. “Melarangnya untuk berpartisipasi dalam kursus pendidikan berkelanjutan sambil mengenakan jilbab merupakan pembatasan kebebasan beragama yang melanggar perjanjian,” kata Komite HAM PBB.
Prancis telah menjadi rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa selama beberapa dekade. Kendati demikian, tetap menjadi lingkungan yang tidak bersahabat bagi mereka untuk tinggal. Khususnya bagi Muslimah Prancis yang mengenakan jilbab atau hijab langsung rentan terhadap Islamofobia.
Pada 2020, serangan Islamofobia di Prancis meningkat sebesar 53 persen dan beberapa orang melihat ini sebagai akibat dari komentarnya yang berapi-api terhadap Muslim dan kebijakan anti-Islamnya. Ini termasuk penutupan 22 masjid di seluruh Prancis, dan usulan larangan jilbab yang dikenakan oleh anak di bawah umur.