Prof Ahmad Tholabi menyarankan koeksistensi hukum Islam dengan hukum positif
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ahmad Tholabi Kharlie dikukuhkan sebagai guru besar hukum Islam di Auditorium Harun Nasution Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (14/9/2022).
Saat menyampaikan pidato pengukuhannya, dia menggulirkan konsep koeksistensi hukum nasional dalam mengatasi sengakrut hukum di Indonesia.
Prof Abie, sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa sengkarut praktik hukum di Indonesia perlu segera dibenahi dengan cara yang sistemik, komprehensif, dan holistik. Pembenahannya dari sisi hulu hingga hilir.
Prof Abie menggulirkan gagasan koeksistensi hukum nasional. Menurut dia, pilar hukum yang terdapat dalam sistem hukum di Indonesia yakni hukum Islam, hukum adat, dan hukum warisan kolonial Belanda harus bersandingan dan saling bekerjasama untuk menunaikan amanat konstitusi.
“Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan langkah konkret berupa koeksistensi hukum nasional (national law coexixtence) melalui pilar hukum yang tersedia,” ujar Prof Abie dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (14/9/2022).
Lebih lanjut, Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Se-Indonesia ini mengatakan, untuk mengoperasionalkan gagasan koeksistensi hukum nasional sedikitnya dibutuhkan tiga langkah yang harus dilakukan.
“Pertama, mengakui eksistensi setiap pilar hukum dengan tanpa mempertentangkan satu dengan lainnya. Kedua, upaya saling memengaruhi antar-pilar hukum, serta ketiga munculnya kesadaran kolektif dari perumus, penafsir, dan pelaksana UU terhadap koeksistensi hukum nasional,” ucap Prof Abie.
Dia pun mencontohkan kerumitan dalam praktik hukum di Indonesia, khususnya di sektor hukum keluarga dan hukum administrasi negara, kerap menjadi persoalan di lapangan.
Dia mencontohkan mengenai praktik perkawinan beda agama yang dari sisi norma baik di Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 Perkawinan maupun putusan Mahkamah Konstitusi 68/PUU-XII/2014 disandingkan dengan keberadaan norma seperti di pasal 35 huruf (a) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memberi ruang dari sisi administratif perkawinan beda agama.
“Fakta inilah yang mestinya dapat dituntaskan negara melalui penataan hukum keluarga yang solid dan holistik sehingga memberi kepastian hukum kepada warga negara,” kata Prof Abie.
Dalam konteks inilah, lanjut dia, koeksistensi hukum nasional dapat dioperasionalkan secara konsisten mulai dari sisi hulu hingga hilir.
Eksistensi hukum agama (Islam) dalam hukum keluarga secara konsekuen dijalankan dengan baik oleh pemeluknya yang berkedudukan menjadi dasar bagi negara dalam pengadministrasian kependudukan di bidang perkawinan untuk memberi kepastian hukum.
“Kebijakan hukum negara yang dituangkan melalui Undang-Undang dan aturan turunan lainnya menjadi titik pijak untuk menyudahi kerumitan yang dipicu benturan antar-norma. Langkah selanjut-nya, secara simultan kesamaan pemahaman oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) khususnya penyelenggara administrasi negara,” jelas Prof Abie.
Di bagian lain, dia juga menggulirkan gagasan model omnibus law dapat ditempuh untuk merapikan sengkarut peraturan perundang-undangan di bidang hukum keluarga. Menurut dia, Pasal 64 ayat (1b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Artinya, tak ada lagi hambatan legalitas dalam penyusunan perundang-undangan model omnibus law ini,” kata Prof Abie.
Acara pengukuhan profesor tersebut dihadiri senat, rektor dan para wakil rektor, para dekan, serta civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam pengukuhan ini, testimoni juga disampaikan oleh sejumlah pihak, seperti Wakil Presiden Prof KH Maruf Amin, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Ketua KY, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan sejumlah pihak lainnya.