Di era digital, metode sangat penting dibanding materi.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Informasi dan Komunikasi, KH Masduki Baidlowi, mengatakan bahwa Islam wasathiyah harus dibungkus secara digital di era seperti sekarang ini. Hal ini disampaikannya saat memberikan pidato sambutan dalam acara Kick Off Kongres Mujahid Digital dan Konsolidasi Nasional Infokom MUI.
Kiai Masduki mengatakan, di era digital, metode sangat penting dibanding materi. Artinya metodologi sangat penting karena teknologi terus berkembang.
“Sekarang ada satu kondisi di mana ada alat-alat dakwah yang tidak bisa kita tinggalkan yaitu digitalisasi informasi,” kata Kiai Masduki dalam pidatonya, Rabu (31/8/2022).
Ia menjelaskan, penduduk Indonesia sekitar 270 juta lebih didominasi kalangan muda. Generasi Z jumlahnya mencapai 27,29 persen. Generasi Z ini cenderung tidak mau mendengarkan narasi atau kalimat panjang, mereka maunya belajar lewat audio.
Ia menyampaikan, jadi di era sekarang pembelajaran lewat audio lebih didengarkan oleh kalangan generasi muda. Kalau ulama mau berbicara tentang Islam wasathiyah, maka ulama harus bergerak di mujahid digital.
“Bagaimana kita berperang di media sosial itu sangatlah penting untuk berdakwah kita, sekarang saya pidato tapi pendengarnya bukan generasi muda, kalau kita pidato yang mendengarkan ibu-ibu dan generasi kolonial yaitu orang tua yang sudah usia senja,” ujarnya.
Menurut Kiai Masduki, ormas-ormas Islam orientasi dakwahnya masih ke kalangan orang tua, bukan kalangan generasi muda yang akan menjadi masa depan. Justru ormas yang bukan arus utama dan tidak ingin mempertahankan Islam wasathiyah menyasar kelompok generasi muda. Ini kondisi yang berbahaya.
“Jadi Islam wasathiyah ini harus dibungkus sedemikian rupa dengan cara-cara digital, itulah tantangan NU, Muhammadiyah dan MUI,” jelas Kiai Masduki.
Ia menyampaikan, salah satu penyakit media sosial, ada bias konfirmasi. Bias konfirmasi terjadi dalam media sosial. Contohnya, sampai saat ini ada 11 juta orang percaya bahwa presiden Indonesia adalah PKI. Kalau ditelusuri mereka yang percaya ada di Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan.
“Kenapa bisa terjadi (mereka) begitu percaya bahwa pak Jokowi PKI, karena terjadi bias konfirmasi dalam media sosial,” ujarnya.
Kiai Masduki menambahkan contoh lainnya, tentu banyak orang heran melihat perempuan di Afghanistan tidak diberikan hak sama sekali. Ini terjadi karena bias informasi dan bias konfirmasi yang akumulatif yang diajarkan oleh generasi ke generasi bahwa perempuan itu tidak punya hak.
“Ini bahayanya kalau kita mendapatkan informasi yang salah, jadi tugas kita ke depan bagaimana agar kita mentransformasikan informasi dengan duduk soal yang sebenarnya perlu kita kemukakan bersama-sama,” kata Kiai Masduki.