Memuliakan guru adalah faktor penentu kesuksesan belajar.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syamsul Yakin
Menurut Syaikh al-Zarnuji dalam kitab Taklim Muta’allim, salah satu cara memuliakan ilmu adalah memuliakan guru. Soal memuliakan guru, Syaikh al-Zarnuji mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib yang ekstrem, “Aku jadi hamba orang yang mengajariku ilmu kendati satu huruf. Jika dia mau dia boleh menjualku (jadi budak), memerdekakanku, atau tetap aku dijadikan sebagai budaknya.”
Cara Ali memuliakan guru, sebenarnya berbasis argumen sabda Nabi, “Barangsiapa mengajarkan satu ayat dari Alquran kepada seseorang, maka orang itu menjadi budaknya.” (HR Thabrani).
Di dalam Taklim Muta’allim setidaknya ada dua kisah menarik terkait memuliakan guru. Pertama, Syaikhul Islam Burhanuddin bercerita bahwa ada seorang ulama besar dari Bukhara yang sedang duduk mengikuti pengajian di satu majelis. Di tengah pengajian itu, dia terkadang berdiri. Kontan hal itu membuat jamaah lain menanyakannya. Tak dinyana, ia menjawab, “Sungguh anak guruku sedang bermain bersama anak-anak lain di halaman, terkadang anak guruku mendekat ke pintu masjid. Oleh karena itu, setiap kali aku melihatnya, aku berdiri untuk memuliakan guruku.”
Kedua, diceritakan bahwa Khalifah Harun al-Rasyid mengirim putranya untuk belajar ilmu dan adab kepada Imam al-Ashma’i (ulama Basrah yang wafat pada 828). Perlu diketahui bahwa Harun al-Rasyid adalah khalifah kelima Abbasiyah di Baghdad. Dia memerintah selama 23 tahun, yakni dari tahun 789 hingga 803. Di bawah kekuasannya, Abbasiyah mencapai puncak kejayaan.
Satu hari Khalifah menjenguk anaknya, dia melihat Imam al-Ashma’i sedang berwudhu. Dia membasuh sendiri kakinya, sementara putra Khalifah yang menuangkan air. Hal itu membuat Khalifah menegur Imam al-Ashma’i. “Aku mengirim putraku kemari agar tuan mengajar dan mendidiknya. Mengapa tuan tidak memerintahkan putraku tangan kirinya menuangkan air dan tangan kanannya membasuh kaki tuan?”
Kalau ditelisik, cerita pertama seperti mengada-ada dan hampir tidak ada. Ulama yang memuliakan guru tentu sangat banyak, tapi ulama yang sedemikian rupa memuliakan anak guru, mungkin sulit ditemukan. Yang dilakukan ulama Bukhara dalam kisah di atas tak lain agar dia memperoleh manisnya ilmu, bukan ilmu belaka. Sebab banyak orang yang memperoleh ilmu tapi tidak merasakan manisnya ilmu. Manisnya ilmu tak lain adalah mengajarkannya kepada orang lain dan mengamalkannya.
Sementara cerita kedua menggambarkan Harun al-Rasyid sebagai khalifah yang sangat memuliakan ulama. Tentu sangat sulit ditemukan teladan seperti demikian. Dari sini juga dipetik hikmah bahwa anak ulama harus dimuliakan demi memuliakan ayahnya, sementara anak khalifah diperlakukan sama dengan anak orang kebanyakan.
Secara rinci, Syaikh al-Zarnuji menulis enam perbuatan memuliakan guru. Pertama, tidak melintas di hadapannya. Kedua, tidak menduduki tempat duduknya. Ketiga, tidak memulai berbicara kecuali atas izinnya. Keempat, tidak berbicara di sampingnya. Kelima, tidak menanyakan pertanyaan yang membosankannya. Keenam, tidak mengetuk pintu rumahnya, hendaknya bersabar menunggu hingga sang guru keluar.
Inilah khasanah pendidikan Islam yang telah dimakan zaman yang harus dihidupkan. Memuliakan guru adalah faktor penentu kesuksesan belajar. Untuk itu, Syaikhul Islam Sadiduddin berseloroh seperti dikutip Syaikh al-Zarnuji, “Barangsiapa yang ingin anaknya jadi ulama, maka dianjurkan orangtuanya untuk berbakti kepada ulama seperti memuliakannya dan mengiriminya sesuatu. Andaikata anaknya tidak jadi ulama, maka cucunya kelak yang jadi ulama.”