Ada tiga model tradisi ilmiah yang tetap terpelihara.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syamsul Yakin
Tradisi ilmiah dalam dunia Islam dikenal sejak masa yang purba. Tradisi ilmiah dipelihara para ulama secara turun-temurun. Ulama dari masa ke masa tidak hanya mempelajari Islam, tapi tapi juga ilmu alam, ilmu sosial, kedokteran, filsafat, seni, dan etika. Maka tak heran ulama masa klasik berpengetahuan ensiklopedis. Ibnu Rusyd, misalnya, tak hanya seorang ahli fikih, tapi juga seorang dokter. Sederet panjang lainnya mengekor apabila disebutkan.
Syaikh al-Zarnuji, ulama abad 12 yang bermadzhab Hanafi, dalam karyanya Taklim Muta’allim, menuturkan ada tiga model tradisi ilmiah yang tetap terpelihara, yakni mudzakarah, munadharah, dan mutharahah.
Mengenai yang pertama, yakni mudzakarah, secara leksikal berarti pembicaraan. Namun lebih tepat lagi berarti diskusi. Dalam tradisi ilmiah, mudzakarah berarti saling bertukar pikiran atau bertukar pendapat untuk menyempurnakan pengetahun masing-masing yang dimiliki. Proses terjadinya mudzkarah karena masing-masing peserta merasa perlu melengkapi ilmu pengetahuan.
Mengenai yang kedua, yakni munadharah, secara leksikal berarti perdebatan atau saling berdebat. Atau bisa juga dimaknai perbantahan atau saling berbantah. Namun dalam tradisi ilmiah, munadharah berarti saling mengkritisi pendapat masing-masing. Proses terjadinya munadharah diawali keinginan untuk bersikap kritis terhadap pengetahuan yang dimiliki.
Mengenai yang ketiga, yakni mutharahah, secara leksikal berarti pertengkaran atau saling bertengkar. Makna lainnya adalah saling menjatuhkan untuk tujuan mendidik dan saling menghempaskan untuk tujuan memajukan. Oleh karena itu, dalam tradisi ilmiah, mutharahah berarti saling adu argumentasi untuk membuktikan pendapat yang paling rasional, otoritatif, dan orisinal.
Namun bagi Syaikh al-Zarnuji, baik mudzakarah maupun munadharah adalah bukti nyata diskusi ilmiah. Tujuan diskusi ilmiah tak lain untuk mendapatkan kebenaran. Sementara kebenaran baru ditemukan dengan cara perenungan, berkepala dingin, dan penuh kesadaran mental dan intelektual.
Selanjutnya, tulis Syaikh Nawawi, manfaat mutharahah dan munadharah lebih besar tinimbang mengulang-ulang pelajaran. Sebab mengulang-ulang pelajaran itu pasif, monolog tidak ada dialog. Sepenggal kata-kata bijak mengingatkan, “Sesaat mutharahah lebih baik dibandingkan dengan sebulan mengulang-ulang pelajaran.”
Asal saja harus memilih lawan mutharahah yang selektif. Misalnya tidak memilih yang suka memutarbalikkan fakta (hilah) atau orang yang sekadar mencari kelemahan orang lain (ta’annut). Sebab apabila pelaku hilah dan ta’annut ini diladeni, maka yang dikhawatirkan terjadi berbantah-bantahan yang dilarang. Nabi berpesan, “Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang suka berbantah-bantahan.” (HR Bukhari).
Inilah tiga model tradisi ilmiah. Untuk bisa terlibat dalam ketiga tradisi ilmiah ini, peserta harus cukup ilmu dan cukup akhlak. Sebab tujuan mudzakarah bukan pamer ilmu belaka, tapi saling menyempurnakan. Tujuan munadharah bukan untuk saling berdebat belaka, tapi untuk mengembangkan sikap kritis. Tujuan mutharahah bukan untuk bertengkar belaka, tapi untuk beradu pendapat.